Zakatnomics: Ekonomi Berkeadilan untuk Kesejahteraan

Fenomena Konsumsi dan Pertumbuhan Ekonomi di Era Modern

Teori ekonomi menetapkan bahwa pertumbuhan digerakkan oleh kebutuhan dan keinginan. Namun dalam sistem kapitalisme modern, keinginan justru menjadi motor utama yang mendorong roda pertumbuhan. Dari dorongan inilah lahir apa yang disebut oleh Thorstein Veblen (1899) sebagai kelas senggang — kelompok sosial yang tidak bekerja secara produktif, tetapi hidup dari rente, investasi aset, dan status sosial.

Dalam karyanya The Theory of the Leisure Class, Veblen mengkritik keras logika ekonomi neoklasik yang meyakini bahwa manusia bertindak rasional dalam mengejar kesejahteraan. Ia menunjukkan bahwa perilaku ekonomi sering kali digerakkan bukan oleh kebutuhan, melainkan oleh hasrat untuk pamer status, gengsi, dan simbol sosial. Dalam masyarakat semacam itu, kerja fisik dianggap rendah, sedangkan ketidakproduktifan justru menjadi lambang kehormatan.

Fenomena yang dikemukakan Veblen lebih dari satu abad lalu kini menemukan relevansinya di era media sosial. Di zaman ketika konsumsi menjadi penopang ekonomi global, gaya hidup konsumtif telah menjelma menjadi indikator kemajuan. Barang mewah, liburan mahal, dan aktivitas hedonistik tampil sebagai ukuran kesuksesan. Konsumsi tidak lagi lahir dari kebutuhan, melainkan dari ilusi akan pengakuan sosial.

Akibatnya, struktur ekonomi menjadi rapuh. Pertumbuhan yang disangga konsumsi—bukan produktivitas—melahirkan ketimpangan dan daya beli semu. Di Indonesia, misalnya, pertumbuhan sekitar 5 persen beberapa tahun terakhir sebagian besar bersumber dari pariwisata, hiburan, dan gaya hidup kelas menengah-atas, sementara sektor produktif seperti investasi, ekspor, dan industri padat karya justru stagnan.

Dalam situasi semacam ini, ekonomi kehilangan arah moralnya. Ia tumbuh tanpa makna sosial, berputar dalam siklus keinginan tanpa akhir. Seperti dikatakan Veblen, masyarakat yang hidup dari kesenangan konsumtif sedang “mengonsumsi simbol status lebih banyak daripada nilai guna.” Fenomena ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan masalah nilai dan orientasi hidup.

Kritik terhadap situasi tersebut melahirkan kebutuhan akan paradigma baru — suatu kerangka ekonomi yang tidak bertumpu pada hasrat, melainkan pada nilai; yang tidak memuja konsumsi, melainkan memuliakan produktivitas dan keadilan sosial. Dalam konteks inilah muncul gagasan Zakatnomics (Purwakananta, 2018), sebuah sistem nilai ekonomi Islam yang berupaya menata kembali fondasi pertumbuhan berdasarkan prinsip tauhid, keseimbangan, dan kemaslahatan.

Zakatnomics memandang bahwa kesejahteraan sejati tidak lahir dari keinginan tanpa batas, melainkan dari kerja bermakna, sistem berkeadilan, dan distribusi yang manusiawi. Ia berdiri di atas empat pilar utama: Ekonomi Tauhid, Produktivitas, Ekonomi Halal dan Adil, serta Implementasi Zakat. Keempatnya membentuk sistem nilai yang menyatukan moralitas spiritual dan rasionalitas ekonomi dalam satu kesatuan yang berorientasi pada kesejahteraan bersama.


Pertumbuhan Zakat Digital Meningkat. Foto ilustrasi.

1. Ekonomi Tauhid: Visi Ekonomi Bernilai dan Seimbang

Ekonomi Tauhid adalah fondasi filosofis dari Zakatnomics. Ia menempatkan Tuhan sebagai sumber nilai dan manusia sebagai pengelola amanah. Dalam pandangan ini, harta bukan tujuan hidup, melainkan sarana menuju kebahagiaan dunia dan akhirat (al-Ghazali, 1111).

Prinsip ini menolak pandangan materialistik yang menuhankan kekayaan. Kekayaan hanyalah amanah untuk kemaslahatan (Ibn Khaldun, 1377). Visi Tauhid menuntun manusia untuk tidak menjadi hamba pasar, melainkan pelaku ekonomi yang mencari keberkahan melalui keseimbangan antara kepuasan material dan kebahagiaan spiritual.

Pemikiran ini sejalan dengan ekonomi moral yang menempatkan simpati dan keadilan sosial sebagai dasar aktivitas ekonomi (Smith, 1759) serta dengan gagasan pembangunan yang menekankan kebebasan dan martabat manusia (Sen, 1999).

Ekonomi Tauhid menjadi ideologi yang menolak penyembahan terhadap harta dan mengembalikan ekonomi pada fungsinya yang sejati: menciptakan keseimbangan antara nilai, kerja, dan kebahagiaan.


Ibnu Khaldun - (Wiki)

2. Produktivitas: Etos Kerja, Kreativitas, dan Kolaborasi Nilai

Pilar kedua adalah Produktivitas, yang menegaskan bahwa kerja adalah ibadah sosial dan sumber martabat manusia (al-Mawardi, 1058). Kerja adalah jalan untuk menjaga harga diri, memenuhi hak orang lain, dan mencipta nilai.

Ibn Khaldun (1377) menyatakan bahwa kerja dan produksi adalah sumber kekuatan ekonomi dan kestabilan negara. Pemikiran ini sejalan dengan teori makroekonomi modern yang menempatkan produktivitas sebagai kunci keseimbangan antara konsumsi dan investasi (Keynes, 1936).

Produktivitas juga menjadi inti keadilan sosial. Masyarakat yang bekerja secara produktif akan menumbuhkan pemerataan dan solidaritas (al-Sadr, 1961). Dalam konteks ini, produktivitas tidak hanya berarti efisiensi ekonomi, tetapi juga kemampuan mencipta nilai dan peluang bagi orang lain.

Gagasan kewirausahaan sosial yang menumbuhkan kemandirian ekonomi melalui akses kerja dan modal memperkuat semangat produktif yang berkeadilan (Yunus, 2006). Dengan demikian, produktivitas menjadi etos spiritual: bekerja bukan untuk menimbun, melainkan untuk memberi manfaat dan menegakkan martabat.

3. Ekonomi Halal dan Adil: Etika Pasar dan Keseimbangan Sosial

Pilar ketiga, Ekonomi Halal dan Adil, menegakkan kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Keadilan adalah asas utama sistem ekonomi; tanpa keadilan, masyarakat akan runtuh (Ibn Taymiyyah, 1320).

Konsep ini sejalan dengan teori keadilan sosial yang menempatkan kesetaraan dan kebebasan sebagai kebajikan utama sistem sosial (Rawls, 1971). Dalam Islam, pasar bebas diterima sepanjang tunduk pada etika moral dan menjauhkan diri dari monopoli, penipuan, dan eksploitasi (al-Ghazali, 1111).

Pemikiran modern juga menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang ekstrem dapat menghancurkan kepercayaan publik dan efektivitas pasar (Stiglitz, 2012). Karena itu, ekonomi halal dan adil tidak hanya bersifat legalistik, tetapi merupakan etika publik yang menjaga stabilitas sosial.

Ekonomi halal dan adil menyatukan efisiensi dengan moralitas sosial. Pertumbuhan ekonomi harus menyertakan pemerataan, tanggung jawab, dan keadilan kemanusiaan.

4. Implementasi Zakat: Distribusi Kesejahteraan dan Kesetaraan Manusia

Pilar keempat, Implementasi Zakat, menegaskan pentingnya distribusi kesejahteraan dan kesetaraan manusia. Zakat bukan hanya kewajiban 2,5%, melainkan sistem sosial yang menjaga sirkulasi kekayaan agar tidak hanya beredar di kalangan orang kaya (Al-Qur’an, Al-Hasyr:7).

Zakat adalah mekanisme spiritual dan sosial untuk menutup jurang ketimpangan dan mengangkat martabat manusia (al-Qaradawi, 1973). Ia menumbuhkan empati si kaya dan memberi kekuatan kepada si miskin untuk bangkit melalui kemandirian ekonomi.

Implementasi zakat bukan sekadar redistribusi, melainkan sistem pembangunan sosial yang mengubah mustahik menjadi muzakki. Zakat mengandung visi kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi semua manusia untuk berpartisipasi dalam ekonomi produktif.

Pemikiran ini selaras dengan prinsip pemerataan kesempatan ekonomi (de Soto, 2000) dan gagasan pertumbuhan inklusif yang menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat (Sen, 1999; Stiglitz, 2012).


Zakat Fitrah (ILustrasi) - (Dok Erfa News)

Penutup: Zakatnomics sebagai Paradigma Keseimbangan dan Kemaslahatan

Keempat pilar Zakatnomics — Ekonomi Tauhid, Produktivitas, Ekonomi Halal dan Adil, serta Implementasi Zakat — membentuk sistem nilai yang menyatukan spiritualitas Islam dengan rasionalitas ekonomi modern.

Tauhid memberi arah moral (Smith, 1759); Produktivitas memberi tenaga dan makna kerja (Keynes, 1936; Yunus, 2006); Keadilan memberi keseimbangan (Rawls, 1971; Stiglitz, 2012); dan Zakat memberi roh kemanusiaan dalam distribusi kesejahteraan (al-Qaradawi, 1973; Purwakananta, 2018).

Zakatnomics adalah paradigma keseimbangan dan kemaslahatan, suatu sistem nilai ekonomi Islam yang menolak penyembahan terhadap harta, mengembalikan kerja pada maknanya yang spiritual, dan menegakkan keadilan sosial sebagai tujuan pertumbuhan.

0 Response to "Zakatnomics: Ekonomi Berkeadilan untuk Kesejahteraan"

Post a Comment