
Tantangan Penerimaan Pajak Tahun 2026: Kinerja yang Tidak Sesuai Ekspektasi
Beberapa tantangan besar menghadapi penerimaan pajak di tahun 2026. Dalam laporan terbaru, terdapat risiko bahwa defisit anggaran bisa melebar jika target penerimaan pajak tidak tercapai. Target ini sebelumnya ditetapkan pada tingkat pertumbuhan sebesar 13,5% atau dari angka Rp2.706,9 triliun menjadi Rp2.357,7 triliun. Namun, dalam skenario Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penerimaan pajak harus mencapai minimal Rp2.005 triliun agar defisit APBN tidak melebihi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika penerimaan pajak berada di angka tersebut, maka pertumbuhannya bisa mencapai 17,5%. Namun, jika mengacu kepada komitmen para kepala kantor pajak, target pertumbuhan bisa meningkat hingga 21,3%. Meskipun demikian, kinerja penerimaan pajak hingga November 2025 masih terkontraksi sebesar 3,2%, jauh dari profil pertumbuhan alamiahnya yang idealnya sebesar 8%.
Faktor Penyebab Kontraksi Pajak
Salah satu faktor utama yang menyebabkan kontraksi penerimaan pajak adalah restitusi pajak yang cukup besar. Sampai akhir November 2025, penerimaan pajak hanya mencapai Rp1.634,4 triliun atau 78,7% dari target. Sementara itu, penerimaan bruto mencapai Rp1.985,4 triliun, sehingga terjadi selisih sebesar Rp351 triliun. Selisih ini disebabkan oleh beberapa hal, termasuk restitusi pajak.
Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh masuknya batu bara sebagai barang kena pajak (BKP) dengan tarif 0%. Hal ini memicu banyaknya klaim restitusi dari pengusaha kena pajak (PKP) batu bara. Klaim ini biasanya berupa pengembalian pendahuluan atau restitusi yang diberikan setelah dilakukan pemeriksaan.
Meski pemerintah menjadikan restitusi sebagai alasan penurunan penerimaan pajak, data Kemenkeu menunjukkan bahwa kinerja penerimaan pajak bruto hingga November 2025 hanya tumbuh sebesar 1,9%, jauh dari target seharusnya sebesar 8%.
Kelemahan Administrasi dan Tax Gap
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan kelemahan administrasi yang menyebabkan penerimaan pajak tidak optimal. BPK menyatakan bahwa DJEF belum menggunakan analisis tax gap dalam penyempurnaan regulasi pajak.
Menurut BPK, kurangnya pertimbangan tax gap memicu tekanan dalam penerimaan pajak. Hal ini dibuktikan dengan kesulitan mencapai rasio pajak terhadap PDB sebesar 8%. Regulasi perpajakan ini merupakan bagian dari policy gap.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa DJEF belum memiliki dokumen output formal berupa estimasi atau analisis tax gap. Mereka masih dalam tahap mempelajari metodologinya. Versi Kemenkeu menyebutkan bahwa estimasi tax gap pada 2024 tercatat sebesar 6% dari PDB dengan perincian policy gap 2,3% dan compliance gap 3,7%.
Revisi UU Cipta Kerja
Sementara itu, Kemenkeu mengaku tengah menghitung ulang dampak Undang-Undang (UU) tentang Cipta Kerja terhadap anjloknya penerimaan negara akibat tingginya pengembalian pajak alias restitusi.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa restitusi adalah bagian dari hak wajib pajak (WP). Dia mengakui pengembalian yang tinggi terjadi di antaranya pada komoditas batu bara.
Komoditas 'emas hitam' ini sebagian besar diekspor, sehingga bebas dari PPN. Menurut Febrio, kondisi ini tidak lepas dari UU Cipta Kerja yang sudah berlaku selama empat tahun belakangan ini.
Risiko Fiskal yang Semakin Terbuka
Risiko fiskal semakin terbuka jika penerimaan pajak pada tahun depan tidak sesuai ekspektasi. Perubahan struktural perlu dilakukan. Apalagi, tahun ini pemerintah telah menggunakan saldo lebih anggaran alias SAL untuk menambal defisit APBN.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mewanti-wanti pemerintah agar penggunaan SAL untuk menutup celah defisit tidak menjadi kebiasaan yang menggerus disiplin fiskal.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman menjelaskan bahwa langkah ini merupakan langkah sah pragmatis untuk menahan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) baru di tengah ketidakpastian global. Hanya saja, dia mengingatkan adanya risiko "ilusi ruang fiskal" apabila strategi ini terus dijadikan sandaran.
0 Response to "Kekurangan pajak membesar, target Purbaya tahun depan sulit dicapai"
Post a Comment