
Bencana banjir dan longsor yang menenggelamkan sejumlah wilayah di Sumatra Utara, Sumatra Barat, serta Aceh mengangkat pertanyaan besar tentang sejauh mana upaya mitigasi ke depan ditempuh pemerintah. Apa yang perlu diperbaiki? Dan seberapa siap pemerintah dengan kebijakannya?
Langkah mitigasi bencana banjir seperti yang muncul di Sumatra perlu menyesuaikan akar permasalahannya, kata dua peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dihubungi BBC News Indonesia. Menurut mereka, banjir di Sumatra disumbang besar oleh faktor perubahan alih fungsi lahan yang wajahnya dapat disimak melalui pemberian izin untuk konsesi perusahaan. Artinya, penanggulangan bencana alam di masa mendatang perlu menyertakan kondisi tersebut.
"Kalau untuk mitigasi, tentu saja fungsi-fungsi [dari hutan] yang alami itu sebisa mungkin dipertahankan, bahkan mungkin harus ditingkatkan," tegas salah seorang peneliti.
Sumatra bukan daerah pertama yang digempur banjir akibat perubahan alih fungsi lahan. Sebelumnya ada Bali, pada September lalu, serta Kalimantan Selatan, 2021.
Presiden Prabowo Subianto, sebagaimana dituturkan Ketua MPR, Ahmad Muzani, disebut telah memperoleh laporan "dugaan pembalakan liar" sebagai salah satu pemicu banjir di Sumatra. Sementara Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menegaskan peristiwa bencana di Sumatra menjadi "momentum yang baik untuk kita mengevaluasi kebijakan." Belum dijelaskan secara rinci apa wujud evaluasinya.
Pemerintah sendiri, pada akhirnya, tidak menampik ada hubungan deforestasi dengan bencana banjir di Sumatra. Pemerintah menegaskan akan menelusuri praktik penggundulan hutan yang tergambar lewat terbawanya gelondongan kayu oleh arus banjir.
"Saat ini, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (SPKH) sudah turun tangan menelusuri dugaan gelondongan kayu yang banyak terbawa arus banjir," papar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Praktikno, di hadapan awak media. "Pemerintah terus menelusuri pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran melalui analisis citra satelit."
Dari Kalimantan, Bali, sampai Halmahera: Banjir karena alih fungsi lahan
Awal 2021 diingat masyarakat Kalimantan Selatan sebagai pengalaman kolektif yang menyesakkan. Banjir besar melumat daerah sekaligus tempat tinggal mereka, tepatnya di 11 kabupaten atau kota. Konsekuensinya tidak main-main. Lebih dari 300.000 orang terdampak, termasuk mengungsi, hilang, serta meninggal dunia. Kerugian yang ditimbulkan di aspek finansial menyentuh Rp1,3 triliun, mencakup kerusakan rumah maupun infrastruktur, hilangnya mata pencaharian, hingga terhentinya kegiatan perekonomian.
Pemerintah menyatakan penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan kala itu ialah curah hujan yang sangat tinggi, sekitar 8 sampai 9 kali lipat ketimbang biasanya. Air yang tumpah tidak mampu dibendung kapasitas sungai. Terciptalah banjir. "Faktor lainnya yaitu beda tinggi hulu dan hilir sangat besar, sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir," ungkap pemerintah.
Organisasi sipil dan lingkungan seperti Walhi Kalimantan Selatan mempunyai pandangan lain. Banjir 2021 turut pula didorong melemahnya daya dukung alam imbas pembangunan. Data yang diolah Walhi Kalimantan Selatan menerangkan dari 3,7 juta hektare luas wilayah tersebut, hampir 50% merupakan tambang dan perkebunan sawit. Tercatat ada 157 perusahaan tambang batu bara dengan 814 lubang tambang di Kalimantan Selatan. Hutan di Kalimatan Selatan, dengan fungsi ekologisnya, "terus menyusut dari tahun ke tahun," menurut Walhi.
Merujuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sebelum dipecah), tutupan hutan di Kalimantan Selatan, dulunya, pada 1990, masih sekitar 52%—tepatnya 1,9 juta hektare. Berjarak dua dekade setelahnya, 2019, tutupan hutan tinggal tak sampai 1 juta hektare—24% luas wilayah. Luas tutupan hutan mengalami pengurangan secara masif pada periode 1996-2000 dengan hampir 840.000 hektare—setara 208.000 hektare setiap tahunnya.
Hitung-hitungan yang dilakukan tim dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan "perbedaan mencolok" antara data kawasan hutan serta luas tutupan hutan pada 2018. Kawasan hutan yang masih berupa hutan berada di angka 48%. Sisanya, 52%, berbentuk area nonhutan. Apabila ditarik dalam pembacaan data yang luas, kawasan tutupan hutan tinggal 20,72% dari total area Kalimantan Selatan.
Pemerintah menampik banjir lahir lantaran efek perubahan fungsi lahan yang memengaruhi sampai Daerah Aliran Sungai (DAS). Di Kalimantan Selatan, posisi DAS "masih terjaga dengan baik," klaim pemerintah. Banjir disebabkan "anomali cuaca" serta "bukan soal luas hutan di DAS Kalimantan Selatan," pemerintah menggaris bawahi.
Bergeser ke Halmahera Tengah dan Halmahera Timur di Maluku Utara, banjir setinggi tiga meter pada Juli 2024 melumpuhkan dan mengisolasi belasan desa, memaksa ribuan warga mengungsi. Pemerintah mengungkapkan pemicu banjir yakni intensitas hujan yang tinggi. Narasi pemerintah dilawan oleh dua organisasi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) serta Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Data FWI memperlihatkan hilangnya tutupan hutan memperparah keadaan banjir. Sepanjang 2021 sampai 2023, mengacu kalkulasi FWI, ada 13% kehilangan tutupan pohon—atau hutan—di kawasan Halmahera Tengah. Raibnya hutan bersamaan dengan geliat penambangan nikel yang, pada akhirnya, menciptakan degradasi lingkungan sekaligus meningkatkan risiko bencana hidrometereologi—tidak terkecuali banjir.
Laporan JATAM menunjukkan 23 izin nikel terpacak di atas lahan seluas lebih dari 227.000 hektare di Halmahera Tengah. Sebanyak 4 izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Kalau dirinci lagi, total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel menyentuh 95.000 hektare—sekitar 42% dari area Halmahera Tengah. Dari angka tersebut, 21.000 hektare telah dibuka untuk tambang yang mayoritas berada di kawasan hutan maupun hulu sungai.
Tidak lama ini, September kemarin, giliran Bali yang dihantam banjir. Belasan titik terdampak, disebut lantaran keberadaan gelombang ekuatorial yang menghasilkan hujan lebat, ucap pemerintah. Efeknya yaitu lebih dari 10 orang meninggal, ratusan dievakuasi, serta kerugian materi yang diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Banjir di Bali tempo lalu bahkan ditetapkan menjadi yang terparah dalam satu dekade belakangan, mengutip pejabat di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali.
Meski begitu, beberapa akademisi menganggap banjir di Bali tidak sekadar karena faktor alam. "Berkurangnya hutan yang berubah menjadi area terbangun membuat air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada masuk ke dalam tanah. Aliran permukaan yang besar inilah yang dapat memicu banjir bandang," kata Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan dari Fakultas Geografi UGM, Djati Mardianto. Sedangkan pakar perencanaan kota di Fakultas Teknik UGM, Bakti Setiawan, menilai "tata ruang dan perkembangan kota yang tidak terkontrol" merupakan faktor penting yang tidak bisa dilepaskan dari banjir di Bali.
"Jadi tantangan utamanya adalah penataan ruang dan kota yang lemah dalam mengantisipasi risiko bencana," tuturnya. Pantauan Walhi mengatakan Bali "menghadapi degradasi hutan mangrove yang sangat parah serta hilangnya kawasan pesisir yang menjelma kawasan perhotelan." Di Denpasar, Walhi mengambil contoh, hutan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai mengalami penyusutan seluas 62 hektare.
'Pertahankan hutan di hulu, supaya di hilir tidak kena'
Rekapitulasi Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menggambarkan bahwa selama lima tahun terakhir, kemunculan bencana banjir rutin tembus di atas 1.000 peristiwa. Pada 2020, terdapat sekitar 1.500 bencana banjir selama satu tahun, paling banyak ketimbang bencana lainnya (32,69%). Setahun setelahnya, angkanya melonjak di 1.800, dan lagi-lagi menempati urutan pertama dalam konteks bencana yang kerap dijumpai (33,23%).
Kuantitas banjir sempat menurun di 2022 dengan total 1.530 peristiwa. Kendati turun, banjir tetap berpredikat bencana nomor satu di Indonesia (43,23%). Pemandangan serupa ditemukan pada 2023 manakala jumlah banjir kembali menurun di angka 1.250. Barulah dua tahun berikutnya, 2024 serta 2025, angka bencana banjir naik. Catatan tahun ini menempatkan bencana banjir dengan jumlah terbesar sejak pertama kali BNPB mengumpulkan data pada 2008. Totalnya yaitu tembus 1.920 peristiwa.
Peneliti dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, M. Fakhrudin, berujar bencana banjir memang berkaitan dengan fenomena alam seperti halnya curah hujan yang tinggi atau anomali cuaca. Namun, dia menambahkan bahwa membicarakan banjir harus menyertakan kontribusi pembangunan. "Nah, di daerah hulu itu, dia berfungsi untuk menyerap hujan, sebanyak-banyaknya. Terus dia mengalir ke bawah seperti itu. Sering kali daerah hulu ini beralih fungsi sehingga yang seharusnya dia itu menyerap hujan banyak, tapi ini tidak. Sehingga di daerah bawah terjadi banjir," paparnya saat dihubungi BBC News Indonesia.
Bagi Fakhrudin, tindakan strategis untuk pemerintah ialah mempertahankan area-area yang memegang fungsi alami—menyerap air hujan. Peran hutan, katanya, "wajib ditingkatkan." Jika tidak, dia melanjutkan, suatu saat hutan akan semakin kehilangan kekuatannya dalam mencegah—atau mengurangi risiko—bencana alam. "Misalnya di daerah hulu itu kita harus pertahankan hutan supaya bagaimana hujan itu sebanyak-banyaknya meresap ke dalam tanah. Sehingga di hilir kita akan mengurangi efek daripada banjir itu," tegasnya.
Data Global Forest Watch menunjukkan Indonesia kehilangan 11 juta hektare hutan primer basah dari 2002 hingga 2024. Ini menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon dalam kurun waktu yang sama. Area total hutan primer basah di Indonesia—pada linimasa itu—menyusut 11%. Analisis lain memperlihatkan dalam rentang 2001 sampai 2024, sekira 76% kehilangan tutupan pohon terjadi di wilayah yang dominan dengan deforestasi.
Secara konkret, Fakhrudin mengatakan, pemerintah semestinya mulai mengaudit kawasan hutan, termasuk izin-izin di dalamnya yang disinyalir mengubah kondisi permukaan atau tutupan lahan. Pemerintah, kata dia, pada saat yang sama juga perlu membikin pemetaan wilayah—mana yang rawan, bagaimana kondisinya, serta seperti apa proyeksi ke depan. "Termasuk dengan, misalnya, apakah ini perizinan kita evaluasi, tunda, atau cabut sementara atau seperti apa," ujar Fakhrudin. "Itu yang perlu dilakukan, dan itu memerlukan juga koordinasi kuat [antara] masing-masing sektor [pemerintahan] dengan bisa memberikan data yang benar-benar bagus dan detail sehingga perencanaan tersebut bisa melihat [masalah] secara keseluruhan."
Penanganan banjir, di sisi lain, menerapkan prinsip kebijakan berlandaskan sains (science-based policy), sebut Fakhrudin. Artinya, dia memanfaatkan data-data yang telah dihimpun untuk kemudian dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sebuah keputusan. Kenyataannya, Fakhrudin menerangkan, manajemen data di Indonesia masih lemah. "Saya menemukan beberapa tempat yang awalnya saja bagus, setelah itu maintenance-nya sangat amat minim," aku Fakhrudin. Dalam konteks bencana banjir, data digunakan untuk memprediksi pola maupun kesimpulan akhir—apakah akan berpotensi terjadi banjir. Data-data ini, idealnya, dicatat melalui interval yang begitu rapat; per jam serta hari. "Banjir itu datanya harus per jam. Dan kerapatan data tentang hujan ini juga masih jauh dari harapan. Sehingga kita, dalam merekomendasikan, juga kadang-kadang tidak tepat," ucapnya.
Sejauh ini, pihak yang menjadi acuan untuk perkara hujan dan banjir ialah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Keduanya memegang data sehubungan curah hujan, water level, sampai debit sungai. Fakhrudin berpandangan pengetahuan soal data tidak berhenti di level pusat semata, atau cukup di beberapa instansi terkait. Dia meminta pemahaman serta implementasi data mampu diturunkan hingga tingkat bawah—terlebih masyarakat di daerah bersangkutan. "Sering kali kesadaran untuk mengubah [perspektif ini] belum sepenuhnya terbentuk. Ini data-data dasar itu banyak yang belum menyadari bahwa itu sangat penting, sebab berhubungan dengan di hulu," papar Fakhrudin. "Sehingga concern kita terhadap pembangunan data, maintenance data, segala macam, termasuk alat-alat, itu juga lemah."
Pengurangan anggaran dan komitmen politik kebencanaan
Kebijakan efisiensi anggaran yang dicetuskan pemerintahan Prabowo Subianto menyasar alokasi yang diberikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mulanya, berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2025, BNPB memperoleh Rp1,4 triliun. Perubahan muncul usai rapat rekonstruksi anggaran bersama Komisi VIII DPR pada Februari lalu. Dana BNPB dipangkas sebesar Rp470 miliar sehingga 'hanya' menjadi Rp956 miliar. Dana yang ada rencananya bakal diutamakan BNPB untuk program ketahanan bencana senilai Rp701 miliar. Sisanya, Rp249,5 miliar, digunakan dalam dukungan manajemen.
Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, memastikan penghematan anggaran tidak memengaruhi kapasitas BNPB dalam merespons bencana. "Artinya, untuk pelayanan publik atau masyarakat terdampak bencana tetap bisa kami laksanakan secara maksimal, meski ada efisiensi karena yang diefisiensikan itu adalah pelaksanaan tugas yang bersifat rutin di kantor pusat," ucapnya.
Penanganan bencana alam membutuhkan komitmen politik yang aktif alih-alih kebijakan reaktif, demikian merujuk analisis ilmuwan kebencanaan dari Charles Darwin University Australia, Jonatan Lassa. Dalam urusan bencana alam, komitmen politik merupakan elemen krusial guna memperkuat ketahanan. Tapi, komitmen politik seperti tidak muncul ketika sudah masuk di sektor kebencanaan. Pemerintah lebih fokus terhadap agenda pembangunan ekonomi serta pemenuhan janji politik, terang Jonatan. Bencana kerap dipersepsikan sebagai peristiwa yang tidak mendesak saat kondisi sedang "normal," dan oleh sebab itu bisa dipikir belakangan. Begitu bencana terjadi, pemerintah seketika mengalokasikan dana darurat yang besar. Saat krisis selesai, pemerintah kembali ke setelan semula: kebijakan ekonomi.
Gejala semacam ini ditemukan Jonatan di Indonesia. Pada 2015, dia memberi gambaran, BNPB menyediakan dana jumbo untuk merespons kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Alokasi dana lalu menurun dan meningkat kembali tiga tahun setelahnya bertepatan dengan gempa bumi yang menghancurkan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Sulawesi Tengah. Pada Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, alokasi untuk BNPB disebut anjlok hingga Rp491 miliar.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menjelaskan anggaran BNPB masih tersedia sebesar Rp500 miliar. Pemerintah berkomitmen menambah anggaran mereka kalau memang dirasa diperlukan. "Nanti tergantung permintaan BNPB. Anda tahu saya kaya. Tapi, uangnya cukup, dari pos darurat bencana kalau enggak salah, dan itu tinggal BNPB ajukan ABT (Anggaran Belanja Tambahan) ke kita, nanti kita [Kementerian Keuangan] proses. Kita, mah, siap terus," Purbaya menanggapi.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Atina Rizqiana, menekankan pemotongan anggaran untuk BNPB, juga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mencerminkan prioritas fiskal pemerintahan Prabowo yang hanya "mengutamakan sektor-sektor yang dianggap lebih strategis secara politis." Yang dimaksud Atina merentang dari hilirisasi, keamanan, serta pemenuhan proyek masif seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). "Mengingat pemotongan dilakukan sama sekali bukan karena pertimbangan risiko bencana di Indonesia yang semakin menurun. Akibatnya, pemerintah justru mengambil risiko fiskal yang jauh lebih besar," dia menjawab pertanyaan BBC News Indonesia.
Atina khawatir pemangkasan anggaran ini bakal berdampak terhadap menurunnya kemampuan monitoring risiko maupun deteksi dini kebencanaan. "Juga respons yang lambat, baik secara kebijakan serta penanganan di lapangan, sampai berkurangnya kecepatan melakukan pemulihan pascabencana," tambahnya. Menurut Atina, sektor pencegahan dan mitigasi kebencanaan "harus kembali menjadi prioritas" sebab berkelindan dengan status Indonesia sebagai negara rawan bencana. Tidak hanya itu, penguatan anggaran harus "terintegrasi dalam sistem tata ruang serta kebijakan daerah," ujar Atina. "Di mana setiap daerah, baik yang rawan maupun rendah bencana, harus memiliki sistem pencegahan dan mitigasinya sendiri yang kuat," katanya.
Dukungan kepada kebijakan kebencanaan, dalam jangka pendek, dapat dimulai dengan "moratorium izin tambang dan sawit," tandas Atina. "Tidak lupa, tagih secara tegas kewajiban perusahaan dalam melakukan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan," jelasnya.
'Kalau berhari-hari masih chaos, kita perlu mempertanyakan pemerintah'
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN, Gusti Ayu Ketut Surtiarti, mengungkapkan bencana di Sumatra tidak bisa disempitkan dalam wacana fenomena alam belaka. Riset Ketut banyak berkutat dan berfokus pada pengurangan risiko bencana, kerentanan penduduk, serta resiliensi komunitas. Sama seperti yang terjadi di Bali, banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatra "diperparah berkurangnya kawasan resapan yang memadai," menurut Ketut. Pemicunya, Ketut berujar, adalah aktivitas pembangunan. Bencana di Sumatra, Ketut meneruskan, sudah seharusnya membikin pemerintah memikirkan ulang pembangunan macam apa yang hendak digalakkan lantaran daya efeknya sangatlah besar.
Pembenahan bisa direalisasikan dengan, pertama-tama, membenahi transparansi secara menyeluruh. Dalam konteks pembangunan, masyarakat perlu dilibatkan lantaran mereka yang tahu kondisi tempat tinggalnya, termasuk dengan kemungkinan-kemungkinan munculnya bencana. Prinsip dasarnya, pembangunan harus diterapkan dari bawah ke atas, bukan malah sebaliknya. "Idealnya itu apa pun yang terjadi masyarakat itu tahu. Ini kita bicara ideal. Kalau kita bicara tentang pembangunan itu, sebenarnya, kita ada Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Jadi, [sifatnya] dari [aspirasi] bawah ke atas [pemerintah]," tegasnya. "Sebaliknya juga pembangunan itu harusnya ada informasi dari atas ke bawah, begitu idealnya. Dan sebenarnya apa pun masyarakat harus tahu."
Aksi penanggulangan serta mitigasi risiko dalam bencana mempunyai benang merah yang mengikat, dan kedunya bisa direspons dengan keterlibatan aktif pemerintah serta masyarakat untuk mewujudkan participatory mapping (pemetaan partisipatoris), sebut Ketut. "Jadi ada upaya untuk memetakan kerentanan, risiko, dan komunitas terhadap bencana alam," tandas Ketut. Di tataran yang paling sederhana, participatory mapping dapat dijalankan dengan community asset mapping (pemetaan aset komunitas), Ketut menjelaskan. "Yang saya petakan adalah sosialnya. Sosial itu memetakan lingkungan kita. Misalnya, orang yang punya sumber daya ini ada di sini, bisa diakses di sini, termasuk finansial, materi, sampai barang," papar Ketut. "Atau, misalnya, kalau ada yang perawat bisa hubungi dia. Ada dokter bisa ke sana. Kalau mau juragan beras di situ."
Aset-aset itu lalu disambungkan, membentuk semacam jaringan, ujar Ketut. Jaringan inilah yang dimanfaatkan tatkala situasi darurat. Pada waktu bencana, 72 jam pertama—atau tiga hari—merupakan "emergency response," tambah Ketut. Dengan kata lain, "kita tidak bisa berharap bantuan dari luar karena asumsinya infrastruktur kolaps," terang Ketut. Perhitungan 72 jam ditarik dari kemampuan maksimal manusia bertahan "tanpa mengonsumsi apa pun." Ketut menyebutnya survival mode (mode bertahan). "Jadi memang 72 jam pertama itu memang terisolasi. Bahkan kita harus tahu, misalnya, letak kebun jagung di mana, kebun pepaya di mana, atau siapa yang punya genset, contohnya, untuk bisa bertahan," imbuhnya.
Persoalannya, praktik pemetaan ini "belum maksimal di Indonesia," kata Ketut. Ketut menilai pemerintah lebih bisa punya andil signifikan dalam membangun "pemetaan" tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dibiarkan tanpa bekal memadai andaikata bencana alam lahir dan keadaan di lapangan memang membutuhkan proses maupun waktu untuk menempuh evakuasi. "Kalau lebih dari 72 jam, misalnya, masih chaos, berarti kita perlu mempertanyakan pemerintah itu bagaimana," pungkasnya.
0 Response to "Setelah Banjir Mematikan di Sumatra, Apakah Evaluasi Penggunaan Lahan Dilakukan?"
Post a Comment