Pengalaman Trauma Banjir Aceh Tamiang yang Masih Menghantui
Putri Alawiyah atau yang akrab disapa Uti, masih mengingat jelas detik-detik ketika banjir bandang menerjang kawasan tempat tinggalnya di Aceh Tamiang pada 26 November 2025 lalu. Air datang begitu cepat, menenggelamkan rumah dan memaksa ia menyelamatkan diri bersama keluarga dengan bertaruh nyawa.
“Rumah saya tenggelam. Saya sempat menyelamatkan anak-anak sama suami saya. Kami terjebak di atas atap rumah orang. Tidak ada barang yang selamat, hanya nyawa kami yang selamat,” kata Uti ketika dihubungi.
Uti merupakan warga Dusun Metro Jaya, Desa Durian, Kota Kuala Simpang, Aceh Tamiang, salah satu wilayah yang terdampak parah banjir dan longsor. Kini, rumah yang selama ini menjadi tempat bernaung telah hancur, sementara seluruh harta benda hilang tersapu air dan lumpur.
Bertahan Hidup di Pengungsian Darurat
Sejak banjir melanda, Uti bersama warga lainnya mengungsi di masjid yang dijadikan sebagai tempat pengungsian darurat. Di tempat itu, selama satu bulan terakhir, ia berusaha bertahan di tengah keterbatasan dengan saling membantu sesama pengungsi.
“Kami masih mengungsi di pengungsian. Kebutuhan sehari-hari seperti makan Alhamdulillah saya bantu-bantu di masjid darurat. Akses kamar mandi di sini juga tersedia,” kata Uti.
Namun, di balik aktivitas sehari-hari yang tampak berjalan, kecemasan terus menghantui. Selain kehilangan rumah, Uti juga kehilangan mata pencaharian yang selama ini menopang hidup keluarganya.
Kehilangan Pekerjaan dan Masa Depan
Sebelum bencana banjir terjadi, Uti bekerja sebagai pedagang. Kini, ia tidak hanya harus memikirkan tempat tinggal, tetapi juga masa depan keluarganya yang terasa semakin tidak pasti.
“Iya, cemas, semua sudah tidak ada. Saya dulunya juga pedagang. Tapi sempat cemas, takut nanti tidak bisa berdagang lagi,” jelas Uti.
Di tengah tekanan tersebut, Uti berusaha mencari cara sederhana untuk menenangkan diri dan memulihkan kondisi mentalnya. Ia menjadikan masjid darurat sebagai ruang ibadah sekaligus tempat untuk tetap merasa berguna.
“Healing trauma ada, masjid darurat ini, ibadah sekalian bantu-bantu memasak untuk jamaah masjid,” jelas Uti.
Pengungsi DiHantui Ancaman Banjir Susulan
Kekhawatiran Uti bertambah setelah mendengar adanya potensi banjir susulan akibat hujan yang masih terus turun. Namun, hingga kini, ia belum melihat adanya persiapan khusus untuk menghadapi kemungkinan tersebut.
“BMKG memprediksi ada banjir susulan karena hujan juga turun terus, tetapi, belum ada (persiapan dan penanggulangan menghadapi banjir susulan),” kata Uti.
Ketika ditanya mengenai bantuan yang paling dibutuhkan saat ini, Uti menyebut kebutuhan paling mendesak masih berkaitan dengan tempat tinggal dan perlengkapan dasar untuk keluarganya.
“Untuk saat ini matras tidur dan selimut untuk anak-anak, alas tidur. Kemudian perbaikan rumah. Ya harapan saya semoga rumah saya bisa berdiri kembali dan bisa cepat diperbaiki,” kata Uti.
Tekanan Mental Penyintas Banjir Aceh Sangat Berat
Kondisi yang dialami Uti bukan kasus tunggal. Psikolog Klinis RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sekaligus EMDR Asia Accredited Trainer & Consultant, Yulia Direzkia, M.Si., menilai tekanan psikologis para penyintas banjir Aceh dan Sumatera saat ini berada pada level yang sangat berat.
Menurut Yulia, belum terpenuhinya kebutuhan dasar membuat proses pemulihan psikologis hampir tidak mungkin dilakukan. “Menurut saya, kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah pemenuhan kebutuhan dasar, terutama tempat tinggal,” jelas Yulia.
Ia menegaskan bahwa para penyintas masih berada dalam fase syok dan trauma, sedangkan bencana telah berlangsung lebih dari tiga minggu. “Bencana ini sudah berlangsung lebih dari tiga minggu, dan di beberapa wilayah seperti Aceh Tamiang dan Bener Meriah masih ada daerah yang terisolasi dan bahkan belum terpenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam kondisi seperti itu, hampir tidak mungkin bagi seseorang untuk tidak mengalami stres,” ungkap Yulia.
Trauma Akibat Kehilangan Berlapis
Menurut Yulia, tekanan psikologis tidak hanya berasal dari peristiwa banjir, tetapi juga dari kehilangan berlapis yang dialami para korban. Banyak warga kehilangan anggota keluarga, rumah, dan seluruh jejak kehidupan yang sebelumnya mereka kenal.
“Ada warga yang sudah tidak bisa lagi menunjukkan di mana rumahnya dulu berdiri karena wilayah tersebut telah tersapu banjir dan lumpur. Kehilangan seperti itu sangat berat secara psikologis,” jelas Yulia.
Ia menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan merupakan syarat utama agar penyintas dapat mulai pulih secara mental. “Dalam waktu sekitar satu bulan setelah peristiwa traumatis, seseorang masih mampu mengaktifkan mekanisme pemulihan diri, asalkan kebutuhan dasarnya terpenuhi,” jelas Yulia.
Sebaliknya, kondisi darurat yang berkepanjangan tanpa kepastian justru meningkatkan risiko gangguan psikologis yang lebih berat.
Dampak Psikologis Banjir Aceh Dinilai Lebih Berat Dibanding Tsunami 2004
Berdasarkan pengalamannya lebih dari 20 tahun menangani penyintas konflik dan bencana, Yulia menyebut trauma kerap muncul jauh setelah peristiwa terjadi. “Saya banyak menemui kasus delayed onset PTSD, di mana gejala baru muncul 10 hingga 20 tahun setelah peristiwa traumatis, sering kali dalam bentuk depresi atau keinginan bunuh diri,” ungkap Yulia.
Ia juga menilai bahwa banjir Aceh tahun 2025 tidak bisa dibandingkan langsung dengan Tsunami Aceh 2004. “Tsunami 2004 terkonsentrasi di Banda Aceh dan Meulaboh, sehingga koordinasi bantuan lebih mudah. Sementara itu, bencana saat ini tersebar di banyak kabupaten dengan tantangan yang berbeda-beda,” ungkap Yulia.
Meski begitu, menurut Yulia, dampak psikologis dari banjir Aceh bisa lebih berat daripada tsunami yang melanda 2004 silam. Endapan lumpur tebal yang tersisa dinilai memperberat proses pemulihan, baik secara fisik maupun mental.
“Dampak psikologisnya pun saya lihat lebih berat karena hingga kini kebutuhan dasar belum sepenuhnya terpenuhi,” tambahnya. Yulia menilai skala bantuan masih perlu ditingkatkan agar menjangkau seluruh wilayah terdampak. Ia juga menyebut bahwa hunian sementara yang layak dapat menjadi titik awal bagi penyintas untuk menata ulang hidup mereka.
“Upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta para relawan sudah sangat baik. Namun, dengan adanya tempat tinggal yang jelas dan layak, penyintas bisa mulai menata ulang hidupnya dan kembali pada kondisi yang lebih stabil,” ujarnya.
0 Response to "Kisah para korban banjir Aceh: rumah hancur, pekerjaan hilang, luka tak terlupakan"
Post a Comment