
Kenangan yang Tak Terlupakan
Segala sesuatu di dunia ini memiliki masa kehadiran, lalu pergi. Begitu pula dalam kehidupan manusia. Hari ini, Minggu 28 Desember 2025, menjadi hari terakhir bagi Kompas Minggu. Edisi ini adalah edisi perpisahan sekaligus penutup dari sebuah media yang telah hadir sejak pertama kali terbit pada 17 September 1978. Artinya, Kompas Minggu telah berjalan selama sekitar 47 tahun. Sebuah usia yang cukup panjang dan mengukir banyak kenangan.
Saya bukanlah pelanggan setia harian Kompas, tetapi sering membeli koran Kompas yang terbit pada hari Minggu. Meskipun tidak bisa menyebut diri sebagai penggemar setia selama 47 tahun, karena usia saya sendiri baru 49 tahun, ada ikatan batin yang kuat antara saya dan Kompas Minggu. Mungkin karena peran pentingnya dalam kehidupan saya, baik sebagai sumber informasi maupun sarana untuk mengeksplorasi minat menulis.
Mencari Lowongan Kerja di Kompas Minggu
Awalnya, saya membeli Kompas Minggu karena mencari lowongan pekerjaan. Kompas Minggu dikenal memiliki banyak iklan lowongan kerja. Pada saat lulus STM tahun 1995, tuntutan untuk mencari pekerjaan sangat besar. Saya sadar diri bahwa melanjutkan kuliah akan memberatkan ayah saya yang pensiunan tentara, apalagi adik saya dua orang masih sekolah.
Pada masa itu, mencari lowongan pekerjaan melalui koran adalah cara yang paling efektif. Setelah menemukan posisi yang cocok, saya membuat surat lamaran dan mengirimkannya ke alamat perusahaan atau PO box. Beberapa kali mendapat panggilan, namun lebih banyak yang tidak memberikan kabar.
Setelah merantau ke Jakarta pada tahun 1998, saya mulai mencari pekerjaan dengan langsung ke kawasan industri. Saya membawa lamaran dan bertanya kepada satpam pabrik. Ada yang ramah, ada juga yang jutek. Namun, pengalaman saya menunjukkan bahwa satpam perusahaan bonafid biasanya ramah-ramah.
Menulis di Lembaran Anak Kompas Minggu
Dari pencarian lowongan kerja, saya tertarik dengan lembaran anak Kompas Minggu. Saat itu, saya sedang membaca Koran Kompas Minggu di perpustakaan Jakarta Timur, daerah Rawa Bunga, tahun 2008. Saya merasa ada peluang bagi saya. Apalagi cerpen dan dongeng saya sudah beberapa kali dimuat di majalah Bobo.
Akhirnya, saya mulai mempelajari cerita, artikel, dan resensi buku anak yang dimuat di lembaran anak Kompas Minggu. Saya rajin mengirim naskah. Jika sedang kosong dan adik saya pulang malam, saya meminjam motornya. Naskah saya antarkan langsung ke redaksi Kompas di Palmerah. Lalu, saya melanjutkan ke jalan Panjang untuk mengantar naskah ke majalah Bobo dan Girls. Dalam satu perjalanan, saya bisa mengirimkan 3-4 naskah.
Awalnya, naskah saya ditolak terus. Tapi kebaikan Kompas Anak adalah selalu mengembalikan naskah saya. Saya bisa belajar lagi dan tahu mana naskah yang ditolak dan mana yang tidak dikembalikan. Saya pikir, mungkin ada harapan.
Suatu siang, saya menerima telepon dari Pak Heru Sudarwanto yang katanya dari Kompas Anak. Saya kaget. Pak Heru mengonfirmasi apakah naskah saya berjudul "Mengusir Cemburu" belum pernah dimuat di media anak mana pun. Saya menjawab belum, Pak. Kata Pak Heru, naskah itu cocok untuk Kompas Anak.
Walaupun belum dimuat, saya sudah senang. Dan setelah menerima telepon itu, saya rajin membeli Kompas Minggu untuk mengecek apakah naskah saya sudah dimuat atau belum.
Akhirnya, saya melihat tulisan saya di Kompas Anak. Tapi kok bukan artikel "Mengusir Cemburu"? Tapi cerpen berjudul "Sama-Sama Norak". Walau bingung, saya senang sekali.
Selang dua minggu, artikel "Mengusir Cemburu" dimuat sebagai artikel utama. Saya senang sekali. Dimuat di hari Minggu, honor cair pada hari Selasa. Untuk artikel utama 350 ribu, Boleh Tahu 250 ribu, dan Resensi Buku Anak 200 ribu.
Keberkahan Menulis di Lembaran Anak Kompas Minggu
Sejak itu, secara rutin artikel, cerita, dan resensi buku anak saya dimuat di Kompas Anak Minggu. Ini membuat saya semakin rajin menulis cerita anak. Nama saya juga mulai dikenal oleh teman-teman. "Oh, ini Bambang Irwanto yang cerita sering di Bobo ya, dan juga sering dimuat di Kompas Anak." Pastinya saya bangga sekali.
Ini juga membuat kelas menulis cerita anak Kurcaci Pos yang saya buka semakin banyak peminatnya. Daya tariknya adalah mereka ingin menulis cerita anak dan bisa dimuat di majalah Bobo dan lembaran anak Kompas Minggu. Ketika teman-teman berhasil lolos dan karyanya dimuat, itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Bisa berbagi ilmu menulis walau masih seuprit, plus mendapat tambahan penghasilan. Alhamdulillah.
Selain itu, lewat Kompas Anak, saya juga bisa merekomendasikan dua teman ilustrasi yaitu Mbak Lintang dan Lily. Kebetulan Mbak Lintang beberapa kali mengilustrasi cerita saya di Bobo. Dan Lily sebelumnya mengilustrasi buku saya. Senangnya, mereka berdua mengilustrasi cerita dan artikel saya di Kompas Anak.
Maka, saya sangat berterima kasih kepada Kompas Minggu lewat Lembar Anak. Terima kasih kepada Bu Retnowati dan Pak Heru Sudarwanto yang sudah memberi kesempatan bagi saya. Di Kompas Anak Minggu juga ada Nusantara Bertutur. Pastinya saya senang dan tidak mau ketinggalan mengirim naskah. Alhamdulillah, tiga cerita saya dimuat. Bahkan salah satunya pemenang harapan lomba menulis cerita Nusantara Bertutur.
Kompas Minggu sudah tak terbit lagi. Tapi kenangan manis melalui lembar anak akan terus melekat di hati saya. Kompas Minggu yang membuat saya terus semangat menulis sampai saat ini. Terima kasih, Kompas Minggu.
0 Response to "Hubungan Hati Kompas Minggu Melalui Halaman Anak"
Post a Comment